Bentuk Tak Berakhir yang Terindah
Kumbang Onymacris unguicularis hidup di pesisir gurun Namib di Afrika barat daya, suatu daratan yang sering berkabut, namun nyaris tidak mendapat hujan sama sekali. Untuk memperoleh air yang diperlukannya demi bertahan hidup atau sintas, kumbang tersebut mengandalkan sikap 'berdiri dengan kepala' yang janggal. (Gambar 1)
Sambil menungging, kumbang menghadap ke arah angin yang meniup kabut melintasi gurun pasir. Teteasan air dari kabut terkumpul di tubuh kumbang dan mengalir turun ke mulutnya. Kumbang penungging ini memiliki banyak kesamaan ciri dengan lebih dari 350.000 spesies kumbang lain di Bumi, termasuk enam pasang kaki, permukaan luar yang keras, dan dua pasang sayap.
Satu setengah abad lalu, Charles Darwin terilhami untuk mengembangkan penjelasan ilmiah bagi ketiga pengamatan luas tersebut. Sewaktu ia mempublikasikan hipotesisnya dalam The Origin of Species, Darwin mengawali sebuah revolusi di bidang sains-era biologi evolusi.
Saat ini, kita mendefenisikan evolusi (evolution) sebagai penurunan dengan modifikasi, suatu frasa yang digunakan oleh Darwin dalam mengajukan gagasan bahwa banyak spesies di Bumi merupakan turunan dari spesies nenek moyang yang berbeda dari spesies yang ada saat ini. Evolusi juga dapat didefenisikan secara sempit sebagai perubahan komposisi genetik suatu populasi dari generasi ke generasi.
Baik didefenisikan secara luas maupun sempit, evolusi dapat dipandang dalam dua cara yang berkaitan namun berbeda, sebagai suatu pola dan sebagai suatu proses. Pola dari perubahan evolusioner diungkapkan oleh data dari berbagai disiplin sians, termasuk biologi, geologi, fisika dan kimia.
Revolusi Darwinian menantang pandangan tradisional mengenai Bumi muda yang dihuni oleh spesies yang tidak berubah
Apa yang mendorong Darwin menantang pandangan yang banyak diyakini pada masanya mengenai Bumi dan kehidupan? Proposal revolusionernya sebenarnya berakar dari temuan-temuan orang lain.
Scala Naturae dan Klasifikasi Spesies
Lama sebelum Darwin lahir, sejumlah filsuf Yunani berpendapat bahwa makhluk hidup mungkin berubah secara bertahap seiring waktu. Namun satu filsuf yang sangat memengaruhi sains Barat awal, Aristoteles (384-322 SM), memandang spesies sebagai sesuatu yang tetap (tak berubah). Melalui pengamatannya terhadap alam, Aristoteles mengenali 'keterkaitan' tertentu di antara organisme-organisme. Ia menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk kehidupan dapat disusun dalam sebuah tangga atau skala kompleksitas yang makin meningkat, belakangan skala itu disebut scala naturae (skala alam). Setiap bentuk kehidupan, sempurna dan permanen, memiliki tempatnya sendiri pada salah satu anak tangga dari skala tersebut.
Salah satu saintis yang berpandangan demikian adalah Carolus Linnaeus (1707-1778), seorang dokter dan ali botani asal Swedia yang bertekad mengelompokkan keanekaragaman makhluk hidup. Linnaeus mengembangkan sistem penamaan organisme dua-bagian, atau binomial, menurut genus dan spesies yang masih digunakan hingga kini. Berlawanan dengan hierarki linear scala naturae, Linnaeus menggunakan sistem klasifikasi bersangkar, pengelompokkan sepsies-spesies yang mirip ke dalam berbagai kategori yang semakin umum. Misalnya, spesies yang mirip dikelompokkan ke dalam genus yaang sama, genus yang mirip di kelompokkan ke dalam famili yang sama dan seterusnya.
Linnaeus tidak menyatakan bahwa kemiripan antara spesies-spesies disebabkan oleh kekerabatan evolusioner, namun labih diakibatkan dari pola penciptaan. ternyata, seabad kemudian sistem klasifikasinya memegang peranan dalam argumen Darwin mengenai evolusi.
Gagasan tentang Perubahan Seiring Waktu
Darwin merangkai berbagai gagasannya dari hasil temuan para saintis yang mempelajarai fosil, sisa-sisa atau jejak-jejak organisme di masa lalu. Kebanyakan fosil ditemukan dibatuan endapan yang terbentuk dari pasir dan lumpur yang terkumpul di dasar laut, sungai dan rawa-rawa. Lapisan baru dari endapan menutupi lapisan yang lebih tua dan menekannya menjadi lapisan batuan yang saling bertumpuk disebut strata (stratum). (Gambar 2).
Palaentologi, ilmu yang mempelajari fosil, dikembangkan secara luas oleh saintis Prancis Georges Cuvier (1769-1832). Pada saat memeriksa strata di dekat Paris, Cuvier menyadari bahwa semakin tua suatu stratum, semakin tidak mirip pula fosil yang dikandungnya dengan bentuk kehidupan yang ada saat ini. Ia juga mengamati bahwa dari satu lapisan ke lapisan berikutnya, ada spesies baru yang muncul, namun ada pula yang hilang. Ia menyimpulkan bahwa kepunahan pasti sering terjadi dalam sejarah kehidupan.
Cuvier dengan tegas melawan gagasan evolusi. Ia mengajukan katastrofisme untuk menjelaskan hasil pengamatannya, prinsip bahwa kejadian-kejadian di masa lalu terjadi tiba-tiba dan disebabkan oleh berbagai mekanisme yang berbeda dari mekanisme yang bekerja saat ini. Spekulasinya bahwa setiap perbatasan di antara strata mencerminkan suatu malapetaka, misalnya banjir, yang menghancurkan banyak spesies yang hidup saat itu. Ia berpendapat bahwa malapetaka periodik ini biasanya terbatas pada wilayah lokal, yang kemudian dihuni kembali oleh spesies yang bermigrasi dari wilayah-wilayah lain.
Hipotesis Lamarck tentang Evolusi
Lamarck menerbitkan hipotesisnya pada 1809, tahun ketika Darwin dilahirkan. Dengan membandingkan spesies hidup dan bentuk fosil, Lamarck menemukan sesuatu yang tampaknya merupakan sejumlah garis keturunan. Masing-masing garis keturunan merupakan rangkaian kronologis dari fosil yang lebih tua ke fosil yang lebih muda yang mengarah ke spesies yang masih ada saat ini. Ia menjelaskan temuannya menggunakan dua prinsip. Pertama adalah digunakan atau dibuang (use and disuse), gagasan bahwa bagian tubuh yang lebih sering digunakan menjadi lebih besar dan kuat, sementara yang jarang digunakan menjadi lemah. Contohnya, jerapah yang meregangkan lehernya untuk mencapai dedaunan di cabang yang tinggi. prinsip kedua, pewarisan sifat dari karakteristik yang diperoleh (inheritance of acquired characteristics), menyatakan bahwa suatu organisme dapat menersukan modifikasi-modifikasi karakteristik kepada keturunannya. Lamarck menalar bahwa leher yang panjang dan berotot milik jerapah yang masih hidup saat ini telah dievolusikan selama beberapa generasi seiring rentangan leher jerapah yang semakin tinggi.
Lamarck juga mengira bahwa evolusi terjadi karena organisme memiliki dorongan bawaan untuk menjadi lebih kompleks. Darwin menolak gagasan ini, namun ia juga menduga bahwa variasi muncul dalam proses evolusi sebagian melalui pewarisan sifat yang diperoleh. Akan tetapi, pemahaman kita sekarang mengenai genetika mengugurkan mekanisme ini : Tidak ada bukti bahwa karakteristik yang diperoleh dapat diwariskan melalui cara yang diajukan oleh Lamarck. (Gambar 3).
Sifat yang diperoleh tidak dapat diwariskan.
Pohon Bonsai ini 'dilatih' agar tumbuh kerdil
melalui pemangkasan dan pembentukan.
Akan tetapi, biji dari pohon ini akan
menghasilkan keturunan dengan ukuran normal
Lamarck diolok-olok pada masanya, terutama oleh Cuvier, yang membantah bahwa spesies berevolusi. Akan tetapi jika kita pikir-pikir lagi, Lamarck pantas dipuji karena menyadari bahwa kecocokan organisme dengan lingkungannya dapat dijelaskan melalui perubahan evolusioner bertahap dan karena mengajukan mekanisme yang dapat diuji untuk menjelaskan perubahan tersebut.
Referensi
Biologi Edisi Kedelapan, Campbell - Reece
https://masbadar.com/wp-content/uploads/2016/05/Bonsai-Azalea-2.jpg
https://live.staticflickr.com/3112/5727784378_89665f9f1c_b.jpg
Komentar
Posting Komentar
Jadilah pembaca dan pengunjung yang bijak